Di pagi buta itu, tepatnya 67 tahun silam, sekitar 500 orang berkumpul di depan Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta. Mereka hendak mendengarkan Soekarno menyatakan kemerdekaan.

"Sekarang Bung...sekarang!" kata rakyat berteriak.

Soekarno pun akhirnya muncul. Dia memakai seragam serba putih. Hatta di sampingnya.

Meski sempat gontai, akibat kurang tidur, dan penyakit malaria yang tengah diidapnya, Soekarno mampu lantang memproklamirkan kemerdekaan. Rakyat bergembira.

"Merdeka!!!" sorak rakyat pecah.

Tapi, sorak tersebut berumur singkat. Pasalnya kini, kemerdekaan hanya terasa bagi sebagian orang. Orang kaya dan pemimpin bangsa, utamanya. Wow. Hebat.

Saya tidak omong kosong. Ini ceritanya:

Suatu malam, gerimis gemericik cukup membasahi kota di daerah saya. ketika itu saya yang menunggu angkutan, dipaksa berteduh di dalam halte trans metro.

Tiba-tiba, di sudut gelap sana, muncul suara tangis bocah. Bergema dan memekakkan telinga. Tapi jangan salah, itu bukan dedemit. Itu murni suara bocah dekil cungkring kedinginan. Emaknya, persis di sampingnya. Dia 'ngorok' kelelahan.

Tak lama berselang. Muncul sekelompok bocah menenteng gitar kopong, kecrekan, dan ukulele. Kira-kira berumur 12-14 tahun-an. Gaya mereka urakan. Pakai anting, rambut gondrong, celana bolong, dan pegang rokok. Mereka ikut meneduh. Saking dinginnya udara, seorang di antaranya pamit sesaat. Tapi, bukan pulang ke rumah, melainkan ke warung seberang. Beli arak. Astaga.

Walau ulah mereka salah, hati saya tetap iba. Saya yakin, mereka tenggak arak karena tidak mendapatkan kehangatan di dalam rumah. Prihatin.

Rasa prihatin itu kian bertambah, tatkala melihat dua remaja bertampang keras memasuki metromini. Suara mereka lantang. Berlogat Medan, Sumatra Utara.

"Bapak-bapak, ibu-ibu, kami lapar. Kami baru keluar dari penjara. Daripada menodong, mencuri dan merampok, lebih baik kami meminta-minta. Seribu, dua ribu, kecil bagi bapak-ibu. Tapi besar bagi kami. Kami mohon bantuannya bapak-ibu!" teriak dua remaja berkaus bolong itu.

Apalagi ini! Inikah potret anak Indonesia, pascakemerdekaan?

Tapi itu belum seberapa. Cerita yang satu ini lebih menyayat.

Beberapa bulan lalu, saya berkunjung ke pemberdayaan anak terlantar di Daerah saya. Satu tempat kecil di gang kumuh.

Di sana, terdapat ratusan bocah. Mereka diajari dasar agama, pendidikan, dan keterampilan. Mata mereka berbinar. Jauh berbeda dengan mata anak-anak di kolong jembatan layang.

Saya mendekati satu anak. Sebut saja Udin (bukan nama sebenarnya). Kepada saya, remaja 17 tahun itu mengaku bekerja sebagai tukang pulung sampah sehari-harinya. Udin telah putus sekolah lebih dari 10 tahun lampau. Emak-babehnya sakit-sakitan. Dan tak bekerja. Karena itu, Udin terpaksa mengepul barang bekas untuk membantu keluarga.

Kepada saya, dia mengaku kehidupan ironisnya belum pilu. Sebab, beberapa temannya jauh menderita dari padanya.

"Hidup saya memang susah. Tapi hidup teman-teman saya lebih parah. Mereka (anak gadis-RED) dijual oleh ayah kandungnya, dijadikan pelacur belia," terang Udin.

Jika tidak “dijual”, lanjut Udin, bocah-bocah malang itu justru menjadi simpanan ayah kandungnya. Mereka harus siap “melayani” nafsu binatang orang tua bejat.

Mendengar cerita Udin, saya diam. Tak mampu berceloteh, selain memicingkan dahi. Biadab.

Yang terang, secuil kisah di atas, menunjukkan bahwa “kemerdekaan” masih jauh dari raihan rakyat kecil. Persis yang dirasakan petani uzur, dekil, kurus, kurang makan, bernama Marhaen, yang ditemui Soekarno di pinggir sawah, puluhan tahuh lalu.

Bedanya kini, mereka berada di jalan. Meminta kocek sambil membawa anak, berpura-pura cacat, bernyanyi sumbang, bahkan ada pula yang mengancam dengan modus: baru keluar penjara.

Sungguh menakutkan dan miris. Menakutkan karena mereka terpaksa mengancam dan tipu-tipu untuk isi perut. Dan miris karena mata mereka menunjukkan apa daya.

Itukah merdeka? Gila.